Inilah Mengapa Terjadinya Perbedaan dalam Bidang Politik dan Pemerintah Pada Kalangan Umat Muslim
Muslimterhebat.id - Barangkali ada yang bertanya, kata Profesor Doktor Muhammad Abu Zahrah, mantan guru besar dan rektor Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, mengapa setelah Nabi Muhammad Saw wafat kamu Muslimin berbeda pendapat, padahal beliau telah mewariskan kepada mereka jalan yang sangat terang yang malamnya bagaikan siang?.
Bukankah Rasulullah Saw telah mewariskan kepada mereka pedoman yang jika mereka ikuti, mereka pasti tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Mengapa?.
Dalam bukunya, Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah, Syeikh Muhammad Abu Zahrah sebelumnya menjelaskan secara umum tentang perbedaan pendapat umat Islam dalam berbagai persoalan. Menurutnya perbedaan yang tercela adalah jika menyangkut persoalan akidah . Sementara jika menyangkut persoalan fikh tidaklah mengapa, sebab itu hanya perbedaan pandangan. Dalam sejarah panjangnya, umat Islam juga tidak pernah berselisih dalam hal-hal pokok agama ini.
Perbedaan dalam bidang politik dan pemerintahan, kata Syeikh Muhammad Abu Zahrah, merupakan perbedaan yang menghilangkan persatuan. Ada delapan sebab mengapa kaum Muslimin akhirnya mengalami perbedaan dalam persoalan ini.
Pertama, fanatisme (ashabiyyah) Arab
Fanatisme Arab merupakan salah satu sebab, bahkan sebab terpenting, lahirnya perbedaan pendapat yang mengakibatkan perpecahan umat.
Padahal Islam telah menyatakan perang terhadap fanatisme di dalam beberapa nash Al Qur’an maupun Hadits. Misalnya dalam firman Allah:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
Sabda Nabi berikut:
“Bukanlah dari golongan kami orang yang menyerukan untuk bersikap fanatik”
“Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keistimewaan bagi bangsa Arab terhadap bangsa yang lain kecuali dari segi ketakwaan.”
Pada masa Nabi, rasa fanatisme itu teredam dengan penjelasan-penjelasan di atas. Hal itu berlanjut sampai masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn ‘Affan. Baru pada akhir masa pemerintahannya kekuatan fanatisme ini mulai bangkit kembali, dimulai dengan timbulnya pertentangan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Sesudah itu, muncul pertentangan antara golongan Khawarij dan golongan yang lain. Pertentangan antara kedua golongan ini merupakan pertentangan lama yang pernah terjadi di masa jahiliyah antara kabilah-kabilah Rabi’ dan kabilah-kabilah Mudhar. Pertentangan ini dapat diredam untuk sementara ketika agama Islam datang sampai akhirnya muncul kembali karena disulut oleh tersebarnya mazhab Khawarij di kalangan kabilah Rabi’.
Kedua, adanya perebutan kekhalifahan
Sebab pokok yang menimbulkan pertentangan di bidang politik ialah perbedaan pendapat tentang masalah siapa yang paling berhak menggantikan Nabi dalam memimpin umatnya. Masalah ini timbul langsung setelah Nabi wafat. Kelompok Anshar mengatakan, “Kamilah yang menyambut dan membantu Nabi. Maka kamilah yang paling berhak menjadi khalifah.” Golongan Muhajirin mengatakan pula, “Kami lebih dahulu dalam hal itu. Maka kamilah yang paling berhak.” Kekuatan iman golongan Anshar dapat meredakan pertentangan itu tanpa ada insiden apapun. Namun, setelah peristiwa itu, perbedaan pendapat mengenai persoalan kekhalifahan semakin tajam. Inti persoalan itu ialah siapa yang paling berhak memangku kedudukan itu: apakah dia berasal dari kabilah Quraisy secara keseluruhan, ataukah hanya dari keturunan tertentu saja, dan ataukah setiap orang Islam tanpa membeda-bedakan golongan dan keturunan karena semuanya sama di sisi Allah sebagaimana digariskan di dalam firman-Nya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat, 49 : 13)
Sabda Nabi:
“Tidak ada keistimewaan bangsa Arab terhadap bangsa lain kecuali dari sisi ketakwaannya.”
Dalam menjawab persoalan itu kaum Muslimin terpecah menjadi kelompok Khawarij, Syi’ah, dan lain-lain.
Ketiga, pergaulan kaum Muslimin dengan penganut berbagai agama terdahulu dan masuknya sebagian mereka ke dalam Islam
Penganut berbagai agama terdahulu, yaitu Yahudi, Nashrani, dan Majusi banyak yang memeluk agama Islam. Dalam benak mereka masih tersisa pemikiran-pemikiran keagamaan yang mereka anut sebelumnya dan itu menguasai perasaan mereka. Karenanya, mereka berpikir tentang hakikat-hakikat ajaran Islam dalam perspektif keyakinan lama. Mereka memunculkan di tengah-tengah kaum Muslimin permasalahan keagamaan yang muncul dalam agama mereka, seperti masalah keterpaksaan dan kebebasan berkehendak (al-jabr wa al-ikhtiyar), serta sifat-sifat Allah: apakah sifat-sifat itu sesuatu yang lain dari dzat-Nya, ataukah sifat-sifat dan dzat itu sama.
Perlu ditegaskan bahwa sebagian mereka memeluk Islam dengan niat yang ikhlas, tetapi dalam benak mereka masih tersimpan sisa-sisa pemikiran keagamaan sebelumnya. Sebagian lagi memeluk agama Islam hanya lahirnya saja, tetapi batinnya menyimpan sesuatu yang lain. Masuknya kelompok ini dalam Islam hanya menciptakan kekacauan pada ajaran agama dan mengembangkan pemikiran keagamaan yang sesat. Karena itu, di kalangan kaum Muslimin ditemukan orang-orang yang menyebarkan berbagai maksud jahat, sebagaimana yang dilakukan orang-orang zindiq dan lainnya dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang menyesatkan.
Berkaitan dengan hal ini, Ibn Hazm menerangkan dalam kitabnya al-Fashl fi al-Milal wa al-Nihal sebagai berikut:
“Sebab pokok keluarnya mayoritas kelompok ini dari agama Islam ialah adanya anggapan orang-orang Persia bahwa mereka pemilik kerajaan yang paling luas dan penguasa semua bangsa. Mereka memandang mulia diri sendiri sehingga menamakan diri mereka sebagai orang-orang merdeka dan pribumi, sementara semua orang lain adalah hamba mereka. Ketika kekuasaan mereka diambil alih oleh orang-orang Arab, yang kekuatannya tidak pernah mereka perhitungkan sama sekali, mereka merasa sangat terpukul, sehingga selalu berusaha untuk memerangi Islam. Akan tetapi, dalam setiap usaha itu Allah selalu memenangkan yang haq. Karenanya, sebagian mereka berpura-pura memeluk Islam dan Ahl al-Tasyayyu’ (Partai ‘Ali) berpura-pura mencintai Ahlulbait serta mencaci maki para penganiaya ‘Ali, kemudian menghukumi mereka sebagai orang kafir.”
Sekalipun memusatkan perhatian pada contoh Partai ‘Ali yang menyimpang seperti Saba’iyyah, yaitu pengikut ‘Abdullah ibn Saba’, uraian di atas berlaku pula pada beberapa kelompok yang lain. Dalam setiap kelompok selalu ada orang-orang seperti mereka, seperti Ibn al-Rawandi dalam kelompok Mu’tazilah. Demikian pula dalam kelompok Musyabbihah dan Mujassimah.
Keempat, penerjemahan buku-buku filsafat
Pengaruh penerjemahan buku-buku filsafat terhadap perbedaan pendapat dalam Islam tampak sangat jelas. Nuansa pemikiran Islam banyak dipengaruhi oleh pertentangan antar mahzab filsafat kuno tentang alam, materi dan metafisika. Di kalangan ulama Islam ada yang mengikuti mazhab dan metode para filosof kuno. Pada masa Daulah ‘Abbasiyyah muncul kaum skeptis yang meragukan segala sesuatu dengan metode kaum sofistik yang terdapat di Yunani dan Romawi.
Dari mazhab-mazhab filsafat di atas lahir bermacam-macam pemikiran yang mempengaruhi pemikiran keagamaan dan muncul beberapa pemikir yang melahirkan pemikiran filosofis di bidang aqidah Islam. Dalam mazhab Mu’tazilah, umpamanya, terdapat para ulama yang menggunakan metode filosofis dalam menetapkan ‘aqidah Islam. Demikian pula ilmu kalam mazhab Mu’tazilah dan ilmu kalam mazhab penentangnya, Ahlusunnah, merupakan kumpulan silogisme, perbandingan filosofis dan kajian rasional murni.
Kelima, melakukan pembahasan masalah-masalah yang rumit
Tersebarnya pemikiran filosofis di kalangan umat Islam dalam menetapkan aqidah telah menyeret mereka kepada berbagai kajian yang berada di luar wilayah kemampuan akal manusia, seperti masalah menetapkan dan menegasikan sifat-sifat Tuhan serta daya (qudrah) manusia di samping daya Tuhan .Pembahasan dalam masalah-masalah ini membuka luas pintu perselisihan karena pandangan dan metode yang berbeda-beda. Setiap pihak mempunyai orientasinya masing-masing. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kalam tampaknya termasuk dalam kategori ini.
Keenam, munculnya pendongeng
Para pendongeng muncul pada masa pemerintahan Utsman. Ali membenci hingga mengusir mereka dari masjid, ketika mereka mulai menanamkan khurafat dan cerita-cerita bohong ke dalam pikiran masyarakat luas. Sebagian cerita itu berasal dari agama-agama terdahulu setelah lebih dahulu mengalami penyimpangan dan perubahan.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah jumlah para pendongeng ini semakin banyak. Di antara mereka ada yang baik, tetapi sebagian besar tidak baik. Barangkali merekalah peyebab banyaknya kisah-kisah Israiliyat yang masuk ke dalam kitab-kitab tafsir dan sejarah Islam. Berbagai bentuk cerita yang muncul pada masa itu merupakan pemikiran tidak matang yang disampaikan di berbagai majelis. Sudah tentu hal itu akan menimbulkan perbedaan pendapat, khususnya apabila si pendongeng itu fanatik kepada suatu mazhab, tokoh pemikir, atau kepada sultan tertentu, sementara pendongeng yang lain berbeda dengannya. Perbedaan itu kemudian tersiar ke tengah masyarakat luas dan menimbulkan hal-hal yang negatif. Keadaan ini berlangsung terus dalam berbagai masa kekuasaan Islam.
Ketujuh, adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Qur’an
Allah berfirman:
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S.’Ali Imran :7)
Dari ayat di atas diketahui adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Qur’an antara lain merupakan ujian dari Allah terhadap kekuatan iman orang yang beriman. Keberadaan ayat-ayat ini menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang makna yang sebenarnya.
Banyak ulama yang berusaha mencari ta’wil ayat-ayat itu dan mencapai hakikat makna-maknanya. Akibatnya, mereka berbeda pendapat mengenai ta’wil yang sebenarnya. Ada pula ulama yang sengaja menjauhi penta’wilan ayat-ayat tersebut dan menyerahkan makna yang sebenarnya kepada Allah sambil berdoa: Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat di sisi-Mu. (QS. Ali ‘Imran: 8)
Kedelapan, penggalian hukum Syar’i
Sumber asli dan utama dari Syariat Islam ialah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Nash-nash hukum terbatas, sementara persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas. Karenanya, untuk menetapkan hukum setiap persoalan yang baru timbul diperlukan penggalian hukum syar’i. Hal ini mengingat nash-nash hanya mencakup hukum-hukum yang universal, tidak memuat hukum-hukum yang parsial. Setiap penggali hukum syar’i menggunakan metode yang berbeda, sesuai dengan pikiran dan logikanya serta dengan hadits atau atsar sahabat yang diterima dan dipandang shahih oleh masing-masing.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan pendapat yang lahir dari penggalian hukum di atas tidaklah berbahaya, bahkan hasil dan efeknya merupakan sesuatu yang baik. Ini disebabkan kumpulan pendapat yang berbeda sehingga memungkinkan penggalian hukum menjadi kokoh, lurus metodenya dan mampu mengakomodasi perubahan zaman serta sejalan dengan fitrah kemanusiaan yang sehat.
Dalam bukunya, Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah, Syeikh Muhammad Abu Zahrah sebelumnya menjelaskan secara umum tentang perbedaan pendapat umat Islam dalam berbagai persoalan. Menurutnya perbedaan yang tercela adalah jika menyangkut persoalan akidah . Sementara jika menyangkut persoalan fikh tidaklah mengapa, sebab itu hanya perbedaan pandangan. Dalam sejarah panjangnya, umat Islam juga tidak pernah berselisih dalam hal-hal pokok agama ini.
Perbedaan dalam bidang politik dan pemerintahan, kata Syeikh Muhammad Abu Zahrah, merupakan perbedaan yang menghilangkan persatuan. Ada delapan sebab mengapa kaum Muslimin akhirnya mengalami perbedaan dalam persoalan ini.
Pertama, fanatisme (ashabiyyah) Arab
Fanatisme Arab merupakan salah satu sebab, bahkan sebab terpenting, lahirnya perbedaan pendapat yang mengakibatkan perpecahan umat.
Padahal Islam telah menyatakan perang terhadap fanatisme di dalam beberapa nash Al Qur’an maupun Hadits. Misalnya dalam firman Allah:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
Sabda Nabi berikut:
“Bukanlah dari golongan kami orang yang menyerukan untuk bersikap fanatik”
“Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keistimewaan bagi bangsa Arab terhadap bangsa yang lain kecuali dari segi ketakwaan.”
Pada masa Nabi, rasa fanatisme itu teredam dengan penjelasan-penjelasan di atas. Hal itu berlanjut sampai masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn ‘Affan. Baru pada akhir masa pemerintahannya kekuatan fanatisme ini mulai bangkit kembali, dimulai dengan timbulnya pertentangan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Sesudah itu, muncul pertentangan antara golongan Khawarij dan golongan yang lain. Pertentangan antara kedua golongan ini merupakan pertentangan lama yang pernah terjadi di masa jahiliyah antara kabilah-kabilah Rabi’ dan kabilah-kabilah Mudhar. Pertentangan ini dapat diredam untuk sementara ketika agama Islam datang sampai akhirnya muncul kembali karena disulut oleh tersebarnya mazhab Khawarij di kalangan kabilah Rabi’.
Kedua, adanya perebutan kekhalifahan
Sebab pokok yang menimbulkan pertentangan di bidang politik ialah perbedaan pendapat tentang masalah siapa yang paling berhak menggantikan Nabi dalam memimpin umatnya. Masalah ini timbul langsung setelah Nabi wafat. Kelompok Anshar mengatakan, “Kamilah yang menyambut dan membantu Nabi. Maka kamilah yang paling berhak menjadi khalifah.” Golongan Muhajirin mengatakan pula, “Kami lebih dahulu dalam hal itu. Maka kamilah yang paling berhak.” Kekuatan iman golongan Anshar dapat meredakan pertentangan itu tanpa ada insiden apapun. Namun, setelah peristiwa itu, perbedaan pendapat mengenai persoalan kekhalifahan semakin tajam. Inti persoalan itu ialah siapa yang paling berhak memangku kedudukan itu: apakah dia berasal dari kabilah Quraisy secara keseluruhan, ataukah hanya dari keturunan tertentu saja, dan ataukah setiap orang Islam tanpa membeda-bedakan golongan dan keturunan karena semuanya sama di sisi Allah sebagaimana digariskan di dalam firman-Nya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat, 49 : 13)
Sabda Nabi:
“Tidak ada keistimewaan bangsa Arab terhadap bangsa lain kecuali dari sisi ketakwaannya.”
Dalam menjawab persoalan itu kaum Muslimin terpecah menjadi kelompok Khawarij, Syi’ah, dan lain-lain.
Ketiga, pergaulan kaum Muslimin dengan penganut berbagai agama terdahulu dan masuknya sebagian mereka ke dalam Islam
Penganut berbagai agama terdahulu, yaitu Yahudi, Nashrani, dan Majusi banyak yang memeluk agama Islam. Dalam benak mereka masih tersisa pemikiran-pemikiran keagamaan yang mereka anut sebelumnya dan itu menguasai perasaan mereka. Karenanya, mereka berpikir tentang hakikat-hakikat ajaran Islam dalam perspektif keyakinan lama. Mereka memunculkan di tengah-tengah kaum Muslimin permasalahan keagamaan yang muncul dalam agama mereka, seperti masalah keterpaksaan dan kebebasan berkehendak (al-jabr wa al-ikhtiyar), serta sifat-sifat Allah: apakah sifat-sifat itu sesuatu yang lain dari dzat-Nya, ataukah sifat-sifat dan dzat itu sama.
Perlu ditegaskan bahwa sebagian mereka memeluk Islam dengan niat yang ikhlas, tetapi dalam benak mereka masih tersimpan sisa-sisa pemikiran keagamaan sebelumnya. Sebagian lagi memeluk agama Islam hanya lahirnya saja, tetapi batinnya menyimpan sesuatu yang lain. Masuknya kelompok ini dalam Islam hanya menciptakan kekacauan pada ajaran agama dan mengembangkan pemikiran keagamaan yang sesat. Karena itu, di kalangan kaum Muslimin ditemukan orang-orang yang menyebarkan berbagai maksud jahat, sebagaimana yang dilakukan orang-orang zindiq dan lainnya dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang menyesatkan.
Berkaitan dengan hal ini, Ibn Hazm menerangkan dalam kitabnya al-Fashl fi al-Milal wa al-Nihal sebagai berikut:
“Sebab pokok keluarnya mayoritas kelompok ini dari agama Islam ialah adanya anggapan orang-orang Persia bahwa mereka pemilik kerajaan yang paling luas dan penguasa semua bangsa. Mereka memandang mulia diri sendiri sehingga menamakan diri mereka sebagai orang-orang merdeka dan pribumi, sementara semua orang lain adalah hamba mereka. Ketika kekuasaan mereka diambil alih oleh orang-orang Arab, yang kekuatannya tidak pernah mereka perhitungkan sama sekali, mereka merasa sangat terpukul, sehingga selalu berusaha untuk memerangi Islam. Akan tetapi, dalam setiap usaha itu Allah selalu memenangkan yang haq. Karenanya, sebagian mereka berpura-pura memeluk Islam dan Ahl al-Tasyayyu’ (Partai ‘Ali) berpura-pura mencintai Ahlulbait serta mencaci maki para penganiaya ‘Ali, kemudian menghukumi mereka sebagai orang kafir.”
Sekalipun memusatkan perhatian pada contoh Partai ‘Ali yang menyimpang seperti Saba’iyyah, yaitu pengikut ‘Abdullah ibn Saba’, uraian di atas berlaku pula pada beberapa kelompok yang lain. Dalam setiap kelompok selalu ada orang-orang seperti mereka, seperti Ibn al-Rawandi dalam kelompok Mu’tazilah. Demikian pula dalam kelompok Musyabbihah dan Mujassimah.
Keempat, penerjemahan buku-buku filsafat
Pengaruh penerjemahan buku-buku filsafat terhadap perbedaan pendapat dalam Islam tampak sangat jelas. Nuansa pemikiran Islam banyak dipengaruhi oleh pertentangan antar mahzab filsafat kuno tentang alam, materi dan metafisika. Di kalangan ulama Islam ada yang mengikuti mazhab dan metode para filosof kuno. Pada masa Daulah ‘Abbasiyyah muncul kaum skeptis yang meragukan segala sesuatu dengan metode kaum sofistik yang terdapat di Yunani dan Romawi.
Dari mazhab-mazhab filsafat di atas lahir bermacam-macam pemikiran yang mempengaruhi pemikiran keagamaan dan muncul beberapa pemikir yang melahirkan pemikiran filosofis di bidang aqidah Islam. Dalam mazhab Mu’tazilah, umpamanya, terdapat para ulama yang menggunakan metode filosofis dalam menetapkan ‘aqidah Islam. Demikian pula ilmu kalam mazhab Mu’tazilah dan ilmu kalam mazhab penentangnya, Ahlusunnah, merupakan kumpulan silogisme, perbandingan filosofis dan kajian rasional murni.
Kelima, melakukan pembahasan masalah-masalah yang rumit
Tersebarnya pemikiran filosofis di kalangan umat Islam dalam menetapkan aqidah telah menyeret mereka kepada berbagai kajian yang berada di luar wilayah kemampuan akal manusia, seperti masalah menetapkan dan menegasikan sifat-sifat Tuhan serta daya (qudrah) manusia di samping daya Tuhan .Pembahasan dalam masalah-masalah ini membuka luas pintu perselisihan karena pandangan dan metode yang berbeda-beda. Setiap pihak mempunyai orientasinya masing-masing. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kalam tampaknya termasuk dalam kategori ini.
Keenam, munculnya pendongeng
Para pendongeng muncul pada masa pemerintahan Utsman. Ali membenci hingga mengusir mereka dari masjid, ketika mereka mulai menanamkan khurafat dan cerita-cerita bohong ke dalam pikiran masyarakat luas. Sebagian cerita itu berasal dari agama-agama terdahulu setelah lebih dahulu mengalami penyimpangan dan perubahan.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah jumlah para pendongeng ini semakin banyak. Di antara mereka ada yang baik, tetapi sebagian besar tidak baik. Barangkali merekalah peyebab banyaknya kisah-kisah Israiliyat yang masuk ke dalam kitab-kitab tafsir dan sejarah Islam. Berbagai bentuk cerita yang muncul pada masa itu merupakan pemikiran tidak matang yang disampaikan di berbagai majelis. Sudah tentu hal itu akan menimbulkan perbedaan pendapat, khususnya apabila si pendongeng itu fanatik kepada suatu mazhab, tokoh pemikir, atau kepada sultan tertentu, sementara pendongeng yang lain berbeda dengannya. Perbedaan itu kemudian tersiar ke tengah masyarakat luas dan menimbulkan hal-hal yang negatif. Keadaan ini berlangsung terus dalam berbagai masa kekuasaan Islam.
Ketujuh, adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Qur’an
Allah berfirman:
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S.’Ali Imran :7)
Dari ayat di atas diketahui adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Qur’an antara lain merupakan ujian dari Allah terhadap kekuatan iman orang yang beriman. Keberadaan ayat-ayat ini menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang makna yang sebenarnya.
Banyak ulama yang berusaha mencari ta’wil ayat-ayat itu dan mencapai hakikat makna-maknanya. Akibatnya, mereka berbeda pendapat mengenai ta’wil yang sebenarnya. Ada pula ulama yang sengaja menjauhi penta’wilan ayat-ayat tersebut dan menyerahkan makna yang sebenarnya kepada Allah sambil berdoa: Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat di sisi-Mu. (QS. Ali ‘Imran: 8)
Kedelapan, penggalian hukum Syar’i
Sumber asli dan utama dari Syariat Islam ialah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Nash-nash hukum terbatas, sementara persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas. Karenanya, untuk menetapkan hukum setiap persoalan yang baru timbul diperlukan penggalian hukum syar’i. Hal ini mengingat nash-nash hanya mencakup hukum-hukum yang universal, tidak memuat hukum-hukum yang parsial. Setiap penggali hukum syar’i menggunakan metode yang berbeda, sesuai dengan pikiran dan logikanya serta dengan hadits atau atsar sahabat yang diterima dan dipandang shahih oleh masing-masing.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan pendapat yang lahir dari penggalian hukum di atas tidaklah berbahaya, bahkan hasil dan efeknya merupakan sesuatu yang baik. Ini disebabkan kumpulan pendapat yang berbeda sehingga memungkinkan penggalian hukum menjadi kokoh, lurus metodenya dan mampu mengakomodasi perubahan zaman serta sejalan dengan fitrah kemanusiaan yang sehat.
| Sumber : www.suara-islam.com
| Publikasi Ulang : www.muslimterhebat.id
Komentar
Posting Komentar